Jumat, 17 Mei 2013

UU Keperawatan: Pemutus Rantai Tragedi Profesi Perawat

Ketua Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Hardi Selamat Hood menjelaskan bahwa profesi perawat membutuhkan sebuah undang undang tentang keperawatan sebagai dasar pijakan kebijakan keperawatan yang komprehensif, termasuk proteksi yang memadai serta standarisasi, kompetensi, dan ser-tifikasi. Komite III DPD berhasil menyusun Rancangan Undang Undang tentang Keperawatan sebagai usul inisiatif.

"Di Indonesia, nasib profesi perawat adalah kisah tragedi. Pelayanan mereka 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Perawatlah yang melakukan kontak pertama," Hardi menjelaskannya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (4/1). Ia merujuk kesimpulan penelitian Kementerian Kesehatan (Kemkes) tahun 2005 yang mengidentifikasi 40-75 persen pelayanan kesehatan di rumah sakit merupakan pelayanan keperawatan dan 60 persen tenaga kesehatan adalah pe-rawat yang bekerja di berbagai tatanan pelayanan kesehatan. 


Tragisnya, berbeda dengan sejawatnya, tenaga kesehatan dokter terproteksi undang undang, yakni Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, hingga hari ini tidak ada undang undang yang mengatur khusus perawat. "Ketiadaan undang undang perawat menjadi ironis jika dihadapkan dengan fakta buram. Dampaknya sangat memilukan. Kehadiran UU Keperawatan menjadi pemutus rantai tragedi profesi perawat," ia melanjutkan. 

Beberapa dampaknya, kesatu, terjadi trend kriminalisasi perawat seperti kasus perawat Misran. Perawat terpaksa memberikan pengobatan (di luar wewenangnya) dalam keadaan darurat di daerah terpencil karena ketiadaan dokter dan tenaga farmasi yang berujung pidana dan penjara. 
Kedua, jumlah lulusan dan ketersediaan perawat yang banyak tetapi sebagian besar mereka tidak bekerja. Di satu sisi, pertumbuhan perawat mencapai 20-24 ribu per tahun dan jumlah perawat itu sendiri mencapai 500 orang. Di lain sisi, hanya 10 persen yang terserap pasar kerja. 
Ketiga, globalisasi menuntut standarisasi, kompetensi, dan sertifikasi profesi perawat. Banyak perawat asal Indonesia yang terserap pasar kerja di luar negeri seperti di Jepang yang mencapai 1000 perawat. Namun, kebanyakan mereka tidak satupun yang bekerja sesuai de-ngan kompetensinya sebagai perawat karena 50 persen sebagai candidate nurse dan 50 persen lagi sebagai care worker.

"Ketiga fakta buram tersebut berpangkal pada ketiadaan undang undang keperawatan. Tanpa undang undang tersebut kita sulit memimpikan kebijakan yang komprehensif, termasuk proteksi yang memadai serta standarisasi, kompetensi, dan sertifikasi yang sesuai tuntutan globalisasi," Hardi menegaskan seraya menambahkan, bahwa bagi DPD, profesi perawat memiliki peran strategis, apalagi di daerah terpencil dan di berbagai tatanan pelayanan kesehatan yang derajat ketergantungannya tinggi.
"Keberpihakan DPD ke penguatan profesi perawat tidak terbantahkan. Sesuai mandat konstitusionalnya sebagai representasi daerah dan masyarakat, DPD memandang urgensi undang undang keperawatan merupakan niscaya dan tidak dapat dipandang sebelah mata. Komitmen DPD diwujudkan dengan mengusulkan Rancangan Undang Undang tentang Keperawatan sebagai usul inisiatif DPD," demikian katanya. 

Materi muatan RUU

Berikut anatomi ringkas materi prinsipil RUU Keperawatan versi DPD. Kesatu, RUU Keperawatan terdiri atas 13 bab dan 73 pasal yang mengatur ketentuan strategis seperti pendidikan, kompetensi, dan registrasi perawat; pendidikan dan pelatihan berkelanjutan, praktik keperawatan, konsil keperawatan, serta peran pemerintah baik di pusat maupun di daerah, termasuk pengawasan dan pembinaan perawat.
Kedua, memastikan kualitas perawat melalui sistem uji kompetensi dan sertifikasi perawat serta pelibatan konsil keperawatan sebagai lembaga pengatur yang mandiri (independent regulatory body). Selain itu, pemberian wewenang kepada perawat ketika tidak ada dokter untuk melakukan wewenang dokter sedangkan pemerintah daerah mengeluarkan keputusan yang mengantisipasi kriminalisasi profesi perawat.
Ketiga, penguatan peran pemerintah daerah merupakan concern Komite III DPD, sejak wewenang menerbitkan surat izin praktik perawat (SIPP), mengembangkan profesi perawat, menyelenggarakan pelatihan perawat, hingga kewajiban pemerataan perawat dan alokasi anggaran untuk mengembangkan profesi perawat. 
Hardi menuturkan, Sidang Paripurna DPD pada 14 Desember 2012 memutuskan dan mensahkan RUU Keperawatan sebagai usul inisiatif. "DPD tetap bersikap jelas, jernih, dan tegas untuk mendesak DPR dan Pemerintah agar menyusun RUU Keperawatan yang mempertimbangkan seksama dan sungguh-sungguh urgensi kebutuhannya sebagai pemutus rantai tragedi profesi perawat."

UU Keperawatan vs UU Tenaga Kesehatan

Mengenai kehadiran UU Tenaga Kesehatan di samping UU Keperawatan, Hardi mengakui bahwa banyak peraturan perundang undangan yang mengatur atau menyinggung profesi perawat. Di antaranya UU 36/2009 tentang Kesehatan, UU 44/2009 tentang Rumah Sakit, Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan, dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02/Menkes/148/I/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat.
"Namun, peraturan perundang undangan itu tidak hanya sangat jauh dari memadai. Lebih dari itu, implementasi-nya tidak sanggup memberikan jaminan kualitas profesi perawat berikut perlindungan hukumnya. Realitas ini sesungguhnya argumen otentik untuk mendesakkan UU Keperawatan," ujar Hardi.
Hardi pun menyayangkan proses politik hukum legislasi DPR dan Pemerintah yang belum berpihak. DPR dan Pemerintah justru mengajukan RUU Tenaga Kesehatan yang salah satu bab dan pasal/ayatnya mengatur profesi pe-rawat, bukannya menyusun RUU Keperawatan. Akibatnya terjadi kontradiksi dalam RUU Tenaga Kesehatan yang mengecualikan profesi dokter. Profesi dokter hanya tunduk pada undang undangnya sendiri, yaitu UU Praktik Kedokteran.
Jika DPR dan Pemerintah menyetujui dan mensahkan UU Tenaga Kesehatan di samping UU Keperawatan maka terjadi paradoks. Pertama, RUU Tenaga Kesehatan mengatur seluruh profesi tenaga kesehatan namun menjadi diskriminatif karena mengecualikan profesi dokter. 
Kedua, di beberapa negara, khususnya negara-negara di kawasan Asia Tenggara, hanya Vietnam, Laos, dan Indonesia yang tidak memiliki UU Keperawatan. Akibatnya, profesi perawat Indonesia bukan hanya tidak terlindungi, juga terisolasi dari percaturan global. Lebih dari itu, profesi perawat Indonesia tidak berkembang sebagai suatu profesi yang mulia di bidang kesehatan. 

0 komentar:

Posting Komentar

Sampaikan komentar anda dengan baik. Komentar yang mengandung unsur SARA, Pornografi, dan Pencemaran Nama Baik akan dihapus...

 
Design by Free WordPress Themes | Google by Lasantha - Premium Wordpress Themes | Lady Gaga, Salman Khan